Tagarsurabaya.com – Ditemukan virus pada hewan yang dapat menginfeksi manusia, Langya henipavirus (LayV), telah diidentifikasi di China. Peneliti menduga inang virus tersebut ada pada tikus.
Atas penemuan virus Langya, para ilmuwan mengimbau agar tidak terlalu khawatir, sebab kemungkinan virus ini tidak menyebar dengan mudah pada populasi manusia, dan infeksinya juga tidak berakibat fatal.
Kendati begitu, ahli virologi evolusioner di University of Sydney Australia Edward Holmes mengatakan bahwa penting untuk melakukan pengawasan berkelanjutan virus Langya.
“Tidak ada kebutuhan khusus untuk mengkhawatirkan hal ini, tapi pengawasan berkelanjutan sangat penting,” tutur Holmes seperti dikutip dari Nature, Jumat (12/8/2022).
Asal virus Langya China yang disebut dibawa tikus
Tim peneliti yang mengidentifikasi virus Langya (LayV) melakukannya saat memantau pasien di tiga rumah sakit di Provinsi Shandong dan Provinsi Henan pada April 2018 hingga Agustus 2021.
Pasien di rumah sakit dimasukkan menjadi peserta dalam penelitian jika mengalami gejala demam. Peneliti melakukan pengurutan genom Langya dari usap tenggorokan yang diambil dari pasien pertama, seorang wanita berusia 53 tahun yang diidenfisikasi dengan penyakit tersebut.
Setelah diurutkan, genom virus Langya di China menunjukkan bahwa virus tersebut paling dekat hubungannya dengan Mojiang henipavirus, yang pertama kali diisolasi pada tikus di sebuah bekas tambang di Provinsi Yunnan, China selatan pada tahun 2012.
Selama masa penelitian untuk mengetahui asal virus Langya China, ditemukan sebanyak 35 orang yang terinfeksi virus tersebut, mayoritas terdiri dari petani dengan gejala pneumonia berat hingga batuk.
Dalam kuisioner yang diberikan ke pasien, sebagian besar menyatakan telah terpapar binatang dalam waktu satu bulan setelah gejala muncul.
Tikus diduga inang virus Langya
Apa itu virus Langya?
Virus Langya adalah jenis virus Henipavirus yang termasuk dalam keluarga virus Paramyxoviridae.
Beberapa henipavirus telah ditemukan pada kelelawar, tikus dan mencit, tetapi hanya virus Hendra, Nipah dan Langya yang diketahui menginfeksi manusia. Untuk menentukan asal hewan potensial virus, para peneliti menguji kambing, anjing, babi dan sapi di desa-desa pasien yang terinfeksi untuk antibodi terhadap Langya.
Peneliti mengambil sampel jaringan dan urin dari 25 spesies hewan kecil liar untuk mencari keberadaan RNA Langya. Ditemukan antibodi virus ini pada beberapa kambing dan anjing, dan mengidentifikasi RNA virus LayV pada 27 persen dari 262 sampel tikus.
“Ini menunjukkan tikus menjadi reservoir untuk virus, menularkan di populasinya dan entah bagaimana menginfeksi orang,” kata Ahli epidemiologi penyakit menular di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland Emily Gurley.
Meski begitu belum jelas infeksi pertama terjadi, langsung dari tikus atau hewan perantara, sehingga masih diperlukan banyak penelitian untuk mengetahui cara penyebaran virus dan orang terinfeksi.
Gejala virus Langya yang dibawa tikus
Seorang ahli virus di Duke, National University of Singapore Medical School di Singapura Linfa Wang menjelaskan, penamaan virus diambil dari sebuah kota asalnya, Langya di Shandong.
Terkait gejalanya, virus Langya dapat menganggu kesehatan pernapasan seperti demam, batuk, dan kelelahan.
Sebelumnya, terdapat dua henipavirus lain yang diketahui sebelumnya juga menginfeksi manusia, yaitu virus Hendra dan virus Nipah. Kedua virus tersebut pun menyebabkan infeksi pernapasan dengan kemungkinan bisa berakibat fatal.
Meski begitu, penularan antar manusia dari virus Langya kemungkinan masih rendah. Hal ini diketahui berdasarkan studi yang terbit di New England Journal of Medicine pada 4 Agustus lalu.
Studi menyebutkan bahwa virus Langya hanya menginfeksi sebanyak 35 orang sejak 2018, dan tidak ada kasus yang terkait.
Para peneliti tidak menemukan bukti kuat penyebaran virus Langya di antara orang-orang dalam satu keluarga, dalam rentang waktu singkat atau dalam jarak geografis yang dekat.
“Dari 35 kasus, tidak ada satu pun yang terkait,” papar Wang.
Meski begitu, penelitian tersebut melakukan penelusuran kontak retrospektif hanya pada 15 anggota keluarga dari 9 individu yang terinfeksi, membuat sulit memastikan bagaimana tepatnya individu tersebut terpapar.
Namun, tercatat tidak adanya data yang bisa membunyikan alarm dan munculnya ancaman pandemi. Untuk memahami risiko penyakit zoonosis, yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, secara teratur penting untuk menguji manusia dan hewan terkait virus yang muncul, agar bisa mengantisipasi suatu wabah penyakit menular.
“Jika kita secara aktif mencari percikan api itu (penyakit yang mungkin menyebabkan wabah), maka berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk berhenti atau menemukan sesuatu lebih awal,” pungkas Gurley.