Tagarsurabaya.com – Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane meminta agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak buang badan atas temuan cemaran senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas pada sejumlah produk obat sirop yang beredar di Indonesia.
Masdalina mempertanyakan pengawasan BPOM dalam memberikan perizinan edar obat di masyarakat. Ia kemudian menyinggung proses pidana yang ditujukan pada PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Kedua perusahaan farmasi itu disebut telah menggunakan EG dan DEG yang melebihi ambang batas dalam produksi obat sirop, padahal keduanya sudah memproduksi dan mengedarkan obat sejak lama. Adapun kedua zat tersebut diduga menjadi pemicu penyakit gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia.
“Temuan ini membuktikan bahwa fungsi pengawasan BPOM tidak jalan. Jadi selama ini apa yang dikerjakan? perizinan saja? Kan, mereka sudah mengantongi izin edar. Jadi jangan sampai membuat kebijakan yang menembak diri sendiri sebenarnya,” kata Masdalina, Selasa (1/11).
Masdalina menilai BPOM telah kecolongan dalam hal ini. Menurutnya, apabila BPOM berdalih pemeriksaan rutin EG dan DEG tak dilakukan di Indonesia karena tidak diatur dalam pakem internasional, lantas mengapa ada aturan yang menyebutkan ambang batas EG dan DEG.
Masdalina menilai seharusnya metode pengawasan BPOM mudah dilakukan dengan cara melakukan sampling uji coba per bets produk obat. Ia menyebut, BPOM tidak ada upaya untuk mitigasi ataupun mencegah agar tidak terjadi kondisi yang diduga mengakibatkan ratusan anak meninggal akibat GGAPA itu.
“Kalau menurut saya jauh lebih bijak kalau mengakui saja, bahwa oke kami [BPOM] akan tingkatkan pengawasan, kami lalai pada bagian ini, kan tidak masalah. Dibandingkan tembak sana-sini menyalahkan yang lain,” kata dia.
Masdalina kemudian menyoroti penjelasan BPOM yang mengklaim bahwa mereka hanya memeriksa dan memberikan izin terhadap bahan baku pharmaceutical grade yang masuk kategori larangan dan pembatasan (Lartas).
Sementara bahan pelarut seperti propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG) merupakan bahan pelarut yang diimpor melalui kategori non lartas, sehingga bukan masuk pemeriksaan BPOM, melainkan Kementerian Perdagangan.
“Kalau dia sudah menjadi produk farmasi, ya maka BPOM yang seharusnya bertanggung jawab. Dan bertanggung jawabnya bukan ketika ada permasalahan. Yang namanya pengawasan itu harus monitoring-nya berlangsung terus menerus sepanjang tahun. Jadi artinya ada mekanisme yang tidak berjalan disini,” jelas Masdalina.
Lebih lanjut, Masdalina juga mewanti-wanti pemerintah dan BPOM untuk lebih berhati-hati dalam penuntasan kasus ini. Menurutnya, proses pidana terhadap industri farmasi terlalu berat, apalagi masih belum diketahui apakah benar obat sirop dengan EG dan DEG yang berlebih sebagai penyebab GGAPA di Indonesia.
Menurut Masdalina, sejumlah kasus GGAPA pada anak tak terkait dengan pemberian obat. Seperti 13 kasus di DI Yogyakarta hingga delapan kasus di Sumatera Utara yang menurutnya malah diduga disebabkan oleh multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) pasca Covid-19.
“Saya kira wajar saja perusahaan obat protes tentang hal tersebut karena dibawa ke ranah pidana. Saya yakin mereka juga punya tim legal, jadi nanti pemerintah yang harus siap kalau sampai pada penuntutan tersebut,” ujar Masdalina.
Bareskrim Polri sebelumnya telah mengumumkan dua korporasi diduga melakukan tindak pidana terkait kasus GGAPA yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia. Dua korporasi itu adalah PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Kedua perusahaan farmasi tersebut menggunakan EG dan DEG yang melebihi ambang batas dalam produksi obat sirop. BPOM menyebut kedua industri farmasi itu memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar peraturan perundangan sebagaimana pasal 62 ayat 1 dan UU RI no. 8 tentang Perlindungan Konsumen.